Tuesday, March 10, 2009

Dosa Demokrasi, Pemilu, dan Partai


Berikut Dosa Demokrasi, Pemilu, dan Partai yang ditulis oleh Syekh Abdul Madjid Bin Mahmud Arraimy. Keterangan tentang Dosa-dosa berikutnya secara berkala akan dipublikasikan. Semoga bisa menyadarkan kaum Muslimin yang masih tertipu oleh demokrasi, pemilu, dan partai!


MUQADDDIMAH


Segala puji hanya milik Allah, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya serta orang yang berwala’ kepadanya.

Amma ba’du.


Ini adalah kajian singkat yang menjelaskan tentang beberapa indikasi destruktif dan bahaya yang ditimbulkan akibat terjun dan berkiprah dalam kancah demokrasi yang banyak orang tertipu dengannya dan menggantungkan harapan mereka kepadanya meskipun hal ini jelas-jelas bertentangan dengan manhaj Allah sebagaimana yang akan dijelaskan dalam kajian yang singkat ini, apalagi banyak sudah pengalaman pahit yang didapat oleh orang yang tertipu dengan permainan ini dan ditampakkan sisi penyimpangan dan kesesatannya.


Penyusun


LIMA PULUH DOSA


Dengan memohon taufiq kepada Allah, kami berusaha memaparkan beberapa indikasi destruktif (kerusakan) demokrasi, pemilihan umum dan berpartai:


1. Demokrasi dan hal-hal yang berkaitan dengannya berupa partai-partai dan pemilihan umum merupakan manhaj jahiliyah yang bertentangan dengan Islam, maka tidak mungkin sistem ini dipadukan dengan Islam karena Islam adalah cahaya sedangkan demokrasi adalah kegelapan.


“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat dan tidak (pula) kegelapan dengan cahaya.” (Surat Faathir: 19-20)


Islam adalah hidayah dan petunjuk sedangkan demokrasi adalah penyimpangan dan kesesatan.
“Sungguh telas jelas petunjuk daripada kesesatan.” (Surat Al-Baqarah: 256)


Islam adalah manhaj rabbani yang bersumber dari langit sedangkan demokrasi adalah produk buatan manusia dari bumi. Sangat jauh perbedaan antara keduanya.


2. Terjun ke dalam kancah demokrasi mengandung unsur ketaatan kepada orang-orang kafir baik itu orang Yahudi, Nasrani atau yang lainnya, padahal kita telah dilarang untuk menaati mereka dan diperintahkan untuk menyelisihi mereka, sebagaimana hal ini telah diketahui secara lugas dan gamblang dalam dien.


Allah Ta’ala berfirman:


“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menaati sekelompok orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir setelah kamu beriman.” (Surat Ali ‘Imran: 100)


“Karena itu janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (Surat Al-Furqaan: 52)


“Dan janganlah kamu menaati orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung(mu).” (Surat Al-Ahzaab: 48)


Dan ayat-ayat yang senada dengan ini sangat banyak dan telah menjadi maklum.


3. Sistem demokrasi memisahkan antara dien dan kehidupan, yakni dengan mengesampingkan syari’at Allah dari berbagai lini kehidupan dan menyandarkan hukum kepada rakyat agar mereka dapat menyalurkan hak demorkasi mereka –seperti yang mereka katakan– melalui kotak-kotak pemilu atau melalui wakil-wakil mereka yang duduk di Majelis Perwakilan.


4. Sistem demokrasi membuka lebar-lebar pintu kemurtadan dan zindiq, karena di bawah naungan sistem thaghut ini memungkinkan bagi setiap pemeluk agama, madzhab atau aliran tertentu untuk membentuk sebuah partai dan menerbitkan mass media untuk menyebarkan ajaran mereka yang menyimpang dari dienullah dengan dalih toleransi dalam mengeluarkan pendapat, maka bagaimana mungkin setelah itu dikatakan, “Sesungguhnya sistem demokrasi itu sesuai dengan syura dan merupakan satu keistimewaan yang telah hilang dari kaum muslimin sejak lebih dari seribu tahun yang lalu,” sebagaimana ditegaskan oleh sejumlah orang jahil, bahkan (ironisnya) hal ini juga telah ditegaskan oleh sejumlah partai Islam yang dalam salah satu pernyataan resminya disebutkan:


“Sesungguhnya demokrasi dan beragamnya partai merupakan satu-satunya pilihan kami untuk membawa negeri ini menuju masa depan yang lebih baik.”


5. Sistem demokrasi membuka pintu syahwat dan sikap permissivisme (menghalalkan segala cara) seperti minum arak, mabuk-mabukan, bermain musik, berbuat kefasikan, berzina, menjamurnya gedung bioskop dan hal-hal lainnya yang melanggar aturan Allah di bawah semboyan demokrasi yang populer, “Biarkan dia berbuat semaunya, biarkan dia lewat dari mana saja ia mau,” juga di bawah semboyan “menjaga kebebasan individu.”


6. Sistem demokrasi membuka pintu perpecahan dan perselisihan, mendukung program-program kolonialisme yang bertujuan memecah-belah dunia Islam ke dalam sukuisme, nasionalisme, negara-negara kecil, fanatisme golongan dan kepartaian. Hal ini bertentangan dengan firman Allah Ta’ala:


“Dan sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabbmu, maka bertaqwalah kepada-Ku.” (Surat Al-Mukminun: 52)


Juga bertentangan dengan firman Allah Ta’ala:


“Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (dien) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Surat Ali ‘Imran: 103)


Dan firman-Nya:


“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu gagal dan hilang kekuatanmu.” (Surat Al-Anfal: 46)


7. Sesungguhnya orang yang bergelut dengan sistem demokrasi harus mengakui institusi-institusi dan prinsip-prinsip kekafiran, seperti piagam PBB, deklarasi Dewan Keamanan, undang-undang kepartaian dan ikatan-ikatan lainnya yang menyelisihi syari’at Islam. Jika ia tidak mau mengakuinya, maka ia dilarang untuk melaksanakan aktivitas kepartaiannya dan dituduh sebagai seorang ekstrim dan teroris, tidak mendukung terciptanya perdamaian dunia dan kehidupan yang aman.


8. Sistem demokrasi memvakumkan hukum-hukum syar’i seperti jihad, hisbah, amar ma’ruf nahi munkar, hukum terhadap orang yang murtad, pembayaran jizyah, perbudakan dan hukum-hukum lainnya.


9. Orang-orang murtad dan munafiq dalam naungan sistem demokrasi dikategorikan ke dalam warga negara yang potensial, baik dan mukhlis, padahal dalam tinjauan syar’i mereka tidak seperti itu.


10. Demokrasi dan pemilu bertumpu kepada suara mayoritas tanpa tolak ukur yang syar’i. Sedangkan Allah Ta’ala telah berfirman:


“Dan jika kamu mentaati kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Surat Al-An’am: 116)


“Akan tetapi kebanyakan manusia itu tidak mengetahui.” (Surat Al-A’raf: 187)


“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Surat Saba’: 13)

No comments:

Post a Comment